Selasa, 15 Maret 2011

GOOD GOVERNANCE

Menurut Hetifah Sj (2003:1-2) Good governance, pertama kali dipopulerkan oleh lembaga dana Internasional seperti world Bank, UNDP, dan IMF dalam rangka menjaga dan menjamin kelangsungan dana bantuan yang diberikan kepada negara-negara sasran bantuan. Pada dasarnya, badan-badan internasional ini berpandangan, bahwa setiap bantuan internasional untuk membangun negara-negara dunia ketiga, terutama negara berkembang, sulit berhasil tanpa adanya Good Governance. Karena itu, Good Governance kemudian menjadi isu sentral dalam hubungan lembaga-lembaga multilateral tersebut dengan negara-negara sasaran.
Wacana Good Governance mendapat relevansi di Indonesia dalam pandangan masyarakat Transparansi Indonesia paling tidak dari tiga sebab utama: pertama krisis ekonomi dan politik yang masih terus-menerus dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir; kedua, masih banyaknya korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan dalam penyelenggaraan negara; ketiga, kebijakan otonomi daerah yang merupakan harapan besar bagi proses demokratisasi dan sekaligus kekewatiran akan kegagalan program tersebut. Alasan lain adalah masih belum optimalnya pelayanan birokrasi pemerintahan dan juga sector swasta dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik.
Berlanjut pada penjelasan MM. Billah yang dikutip Hetifah Sj, menyatakan bahwa good governace dimaknai berlainan, satu sisi ada yang memaknai good governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja suatu pemerintahan, perusahaan atau organisasi kemasyarakatan. Istilah ini berujuk pada arti asli governing yang berarti mengarahkan atau mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik atau mewujudkan nilai-nilai dalam tindakan dan kehidupan keseharian.
Dengan demikian ranah Good Governance tidak terbatas pada negara atau birokrasi pemerintah, tetapi juga pada ranah masyarakat sipil yang dipresentasikan oleh organisasi non-pemerintah (ornop) seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan juga sector swasta. Singkatnya, tuntutan terhadap Good Governance tidak selayaknya ditujukan hanya pada penyelenggara negara atau pemerintah, melainkan juga pada masyarakat diluar struktur birokrasi pemerintah secara getol dan bersemangat menuntut penyelenggaraan Good Governance pada negara.
Menurut Santosa yang dikutuip Hetifah Sj, Pada dasarnya konsep good governance memberikan rekomendasi pada sistem pemerintahan yang menekankan kesetaraan antara lembaga-lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah, sector swasta dan masyarakat sipil (civil Society).
Good Governance berdasarkan pandangan ini berarti suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat sipil (civil Society), dan sektor swasta. Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjebatani perbedaan dintara mereka. Santosa menjelaskan bahwa governance sebagaimana didefenisikan UNDP adalah pelaksana politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan dilakukan dengan efektif, dan efisien, responsive terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratis, akuntansi serta transparan.
Good governance yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sector negara dan sector non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusi-institusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda.
Prinsip-Prinsip Good Governance
Kendati diawali oleh tawaran badan-badan internasional, namun cita good governance kini sudah menjadi bagian diskursus serius dalam wacana pengembangan paradigma birokrasi dan pembangunan ke depan. Dari berbagai hasil kajian LAN (Lembaga Administrasi Negara), Simamungsong dan Sinuraya (2004:256-263) mengutip sembilan (9) aspek fundamental dalam perwujudan Good Governance, yaitu:
a.       Partisipasi
Semua warga masyarakat berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Untuk mendorong partisipasi masyarkat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus diminimalisir.
b.      Penegakan Hukum
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa diimbangi oleh sebuah hukum dan penegakannya yang kuat,  partisipasi akan berubah menjadiproses politik yang anarkis. Ditambahkan pula bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan juga harus ditata oleh sebuah sistem dan aturan hukum yang serta memiliki kepastian.
c.       Transparansi
Salah satu yang menjadi persoalan bangsa di akhir masa orde baru adalah merebaknya kasus-kasus korupsi yang berkembang sejak awal masa rejim kekuasaannya. Korupsi sebagai tindakan, baik dilakukan individu maupun lembaga yang secara langsung merugikan negara, merupakan salah satu yang harus dihindari dalam upaya menuju cita Good Governance, karena selain merugikan negara, korupsi dapat menhambat efektivitas dan efesiensi proses birokrasi dan pembangunan sebagai ciri utama Good Governance.
d.      Responsif
Salah satu asas fundamental menuju cita-cita Good Governance adalah responsif, yakni pemerintahan harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Terkait dengan asas responsif ini, pemerintah harus merumuskan kebijakan –kebijakan pembangunan sosial terhadap semua kelompok sosial dalam karakterristik kulturalnya. Dalam upaya mewujudkan asas responsif pemerintah harus melakukan upaya-upaya strategis dalam memberikan perlakuan yang humanis pada kelompok-kelompok masyarakat tanpa pandang bulu.
e.       Orientasi konsensus
Asas fundamental lain yang juga harus menjadi perhatian pemerintahan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya menuju cita-cita Good Governance, seperti pengambilan keputusan secara konsensus, yakni pengambilan keputusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama. Cara pengambilan keputusan tersebut selain dapat menarik komitmen komponen masyarakat sehingga memiliki legitimasi untuk melahirkan coercive power (kekuatan memaksa) dalam upaya mewujudkan efektivitas pelaksana keputusan.


f.       Kesetaraan
Terkait dengan asas konsensus, transparansi dan responsiv, Good Governance juga harus didukung dengan asas equity (kesetaraan), yakni kesamaan dalam perlakuan (treatment) dan pelayanan. Asas ini dikembangkan berdasarkan pada sebuah kenyataan bahwa bangsa Indoneisa ini tergolong bangsa yang plural, baik dilihat dari segi etnik, agama dan budaya. Pluralisme ini tentu saja pada satu sisi dapat memicu masalah, apabila dimanfaatkan dalam konteks kepentingan sempit seperti primordialisme, egoisme, dan sebagainya. Karena prinsip equity harus diperhatikan agar tidak memunculkan ekses yang diinginkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
g.       Efektifitas
Disamping harus memperhatikan beragam kepentingan dari berbagai lapisan dan kelompok sosial sebagaimana ditekankan pada asas kesetaraan, pemerintahan yang baik juga harus memenuhi kriteria efektivitas dan efesiensi, yakni berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesa-besarnya kepentingan masyrakat dari berbagai kelompok lapisan sosial. Sedangkan efesiensi biasanya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang dipakai untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintah itu termasuk dalam kategori pemerintahan efesien. Citra itulah yang menjadi tuntutan dalam upaya mewujudkan cita-cita Good Governance.

h.      Akuntabilitas
Asas akuntabilitas menjadi perhatian dan sorotan pada era reformasi ini, karena kelemahan pemerintahan Indonesia justru dalam kualitas akuntabilitas itu. Asas akuntabilitas berarti pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberi delegasi dan kewenangan untuk mengurusi berbagai urusan kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju cita-cita Good Governance.
i.        Visi Strategis
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menhadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudan Good Governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan teknologinya yang begitu cepat. Bangsa yang tidak memiliki sensitifitas terhadap perubahan serta perediksi perubahan kedepan, tidak saja akan tertinggal oleh bangsa lain di dunia, tapi juga terperosok pada akumulasi kesulitan,  sehingga proses recoverynya tidak mudah.
Untuk mewujudkan cita-cita Good Governance, lebih lanjut Simamungsong dan Sinuraya (2004:264-270) mengemukakan asas-asas fundamental yang harus dilaksnakan, sebagaimana telah dipaparkan  di atas, harus melakukan lima (5) aspek prioritas, yaitu:
a.       Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan
Lembaga perwakilan rakyat, yakni DPR, DPD, dan DPRD harus mampu menyerap dan mengartikulasikan berbagai aspirasi masyarakat dalam berbagai bentuk program pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, serta mendelegasikannya pada eksekutif untuk merancang program-program operasional sesuai rumusan yang ditetapkan dalam lembaga perwakilan dan terus melakukan fungsi kontrolnya terhadap lembaga eksekutif, sehingga seluruh gagasan dan aspirasi yang dikehendaki rakyat melalui wakilnya itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh seluruh perangkat lembaga eksekutif.
b.     Kemandirian Lembaga Peradilan
Kesan yang lain buruknya dari pemerintahan adalah ketidak mandirian lembaga peradilan. Intervensi eksekutif terhadap yudikatif sangat kuat, sehingga peradilan tidak mampu menjadi pilar terdepan dalam menegakkan asas rule of law. Lembaga penegakan hukum tidak dengan leluasa menetapkan perkara, sehingga mereka tidak mampu menampilkan dirinya sebagai the prophet of law.
c.       Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas
Birokrasi di Indonesia tidak hanya dikenal lemah dalam memberikan pelayanan publik, tapi juga telah memberi peluang berkembangnya praktek-pratek KKN. Dengan demikian, pembaharuan konsep dan mekanisme kerja birokrasi merupakan sebuah keharusan dalam proses meneju cita-cita Good Governance. Jajaran birokrasi harus diisi oleh mereka yang memiliki kemampuan profesionalitas yang baik, memiliki integritas, berjiwa demokratis, dan memilki akuntabilitas yang kuat sehingga memperoleh legitimasi dari rakyat yang dilayaninya. Karena itu paradigma pengembangan birokrasi ke depan harus diubah menjadi birokrasi populis, yakni rakyat, serta memiliki integritas untuk memberikan pelayanan kepada rakyat dengan pelayanan yang prima.
d.     Peranan Masyarakat Sipil
Mewujudkan cita-cita Good Governance juga mensyaratkan partisipasi masyarakat sipil  yang kuat, sebaliknya untuk mewujudkan masyarakat sipil diperlukan Good Governance. Proses pembangunan dan pengelolaan negara tanpa melibatkan masyarakat sipil akan sangat lamban, karena potensi terbesar dari sumber daya manusia ada dikalangan masyarakat ini. Oelh sebab itu, berbagai kebijakan publik harus memberi peluang pada masyarakat untuk berpartisipasi, tidak saja dalam sektor-sektor kegiatan ekonomi dan politik, tapi juga dalam proses kebijakan-kebijakan publik itu sendiri. Masyarakat mempunyai hak atas infomasi, mempunyai hak untuk melekukan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang menguntungkan, baik melalui lembaga perwakilan, pers maupun menyampaikan secara langsung dalam bentuk dialog-dialog terbuka dengan LSM, Partai Politik, Organisasi Massa atau institusi sosial lainnya.
e.       Dukungan Teknologi dan Metoda
Dunia yang terus berkembang dan penuh persaingan mengharuskan setiap organisasi, termasuk negara menggunakan teknologi dan teknik-teknik yang modern (metoda) sebagai berikut :
1)      E-Governance
Dalam mendukung mewujudkan pemerintahan yang bersih dan beribawa maka sangat dibutuhkan penerapan teknologi informasi internet maupun digital global space. Peranan teknologi informasi ini sangat mendukung integrasi administrasi pemerintah pusat dan daerah
2)      Visi, Misi dan Strategi
Visi adalah gambaran masa depan yang menarik dan dapat dicapai. Diatas telah disinggung tentang visi strategis, maksudnya visi yang bersifat strategis, jangkauan ke depan lebih jauh dan lingkupnya lebih luas dari visi biasa. Strategis memberi penekanan skala dan peranan dari visi.
Misi adalah upaya untuk mencapai visi, menggunakan kata kerja, berisi kegiatan dan hasil yang diharapkan. Strategi adalah cara untuk mengatasi maslah atau resiko yang terjadi dalam rangka pelaksanaan misi. Strategi dirumuskan berdasarkan penelitian tentang masa depan dengan menggunakan metoda Strength, Weakness, Opportunity, and Threatds. Dengan mengetahui kemampuan dan kelemahan diri saat ini mencoba mengetahui (meramal) apa yang akan terjadi di masa datang, dan menentukan peluang dan mengatasi ancaman.
3)      Manajemen Strategik
Manajemen selalu berususan dengan sumber daya, terutama dana, peralatan dan asset. Sumber daya makin lama makin mahal, langka, sehingga pemakaianya perlu dengan efisien namun pelaksanaan misi tetap efektif, mencapai sasaran. Oleh karena itu, sifat manajemen yang demikian menjadi strategis, menjadi metoda dan alat untuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (termasuk pengawasan)
Dengan pertolongan metoda dan teknik ini, diharapkan mendukung upaya (misi), pencapaian visi dan pada gilirannya dengan semangat Good Governance akan memuaskan masyarakat, akhirnya meningkatkan kesejahtraan rakya. Otonomi daerah yang menjadi ujung tombak pemerintahan Republik Indonesia dapat berperan melayani masyarakat dan membangun daerah masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar