Selasa, 15 Maret 2011

IMPLIKASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP WILAYAH PERBATASAN KABUPATEN NUNUKAN DI DESA SUNGAI NYAMUK

Tuntutan politik yang telah melahirkan UU No. 32 Tahun 2004 serta berbagai produk peraturan perundangan-undangan pendukungnya memberikan peluang bagi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Namun pelaksanaannya masih terdapat beberapa masalah pada beberapa pengembangan kapasitas daerah dalam penyelenggaraan pemerintah, pengembangan ekonomi wilayah dan pemberdayaan masyarakat khususnya pada daerah pedesaan.
Dalam pelaksanaan otonomi daearah yang menyangkut pelaksanaan wilayah  pedesaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, pada Pasal 1 ayat 2 “Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan  dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kemudian  dalam Pasal 1 ayat 5 “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”., Dan Pasal 1 ayat 6 “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”., Pasal 1 ayat 9 “Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu”. Pasal 1 ayat 10. “Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota”. Sedangkan Pasal 1 ayat 11. “Peraturan kepala daerah adalah peraturan Gubernur dan/atau peraturan Bupati/Walikota”. Demikian halnya pada Pasal 1 ayat 12. “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
            Dari rangkaian pasal 1 dan relevansi ayat-ayat diatas jelas merupakan acuan dalam mengambil/menentukan kebijakan pemerintah daerah Dalam pelaksanaan pengembangan otonomi daerah masih dijumpai beberapa permasalahan antara lain: terbatasnya kemampuan operator pemerintahan daerah; belum memadainya perangkat peraturan perundang-undangan; masih adanya kesenjangan pemahaman tugas dan wewenang antara sebagian anggota DPRD dengan pemerintah daerah, dan belum mengembangkan mekanisme partisipasi lembaga dan organisasi masyarakat.
Sebagaimana diketahui, selama ini khususnya daerah kabupaten banyak bergantung pada pemerintah pusat, karena terbatasnya jumlah dana yang berkaitan dengan sumber dana yang telah diatur oleh pemerintah pusat. Dengan ketergantungan pemerintah daerah dalam hal dana bagi penyelenggaraan urusan, maka akan sulit untuk mencapai tujuan otonomi daerah terutama bagi daerah yang kurang berkembang.
Konsep pembangunan desa yang selama ini kita terapkan bias kepada cara pandang kota, karena menggunakan pendekatan pembangunan kota, dan juga diukur berdasarkan indikator-indikator kemajuan ekonomi kota. Sosial budaya masyarakat desa tidak dipandang khas, namun direndahkan atau dianggap belum sempurna, berdasarkan ukuran relatif sosial budaya masyarakat kota. Timbulnya konsep pembangunan pertanian dengan berbasiskan kepada desa membutuhkan perubahan paradigma pembangunan itu sendiri, yaitu dengan meninggalkan pembangunan desa dengan cara pandang kota karena tidak akan pernah melihat desa sebagai entitas sosial ekonomi dan budaya yang khas. Desa harus didekati dan disentuh dengan pendekatan yang spesifik agar seluruh potensinya dapat tergali dan dikembangkan dengan optimal.
Dikotomi kota dan desa tidak terhindarkan dalam teori dan pelaksanaan pembangunan, dimana kegiatan pertanian dianggap identik dengan desa, sedangkan industri identik dengan kota. Dikotomi yang cenderung hitam putih ini membawa implikasi yang banyak menimbulkan masalah.
Selanjutnya dalam kebijakan pemerintah terkait dengan peningkatan standar kehidupan masyarakat harus tepat sasaran dengan mengawasi dan mencermati lingkungan masyarakat atau keadaan masyarakat sebenarnya melalui beberapa gabungan proses sosial dan ekonomi serta institusional, memcakup usaha-usaha untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu pembangunan dalam semua masyarakat haruslah mempunyai, paling sedikit, tiga sasaran sebagaimana di kemukakan oleh Michael P. Todaro (1983:128) sebagai berikut :
1.      Meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian/pemerataan bahan-bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti makanan, perumahan, kesehatan dan perlindungan
2.      Mengangkat taraf hidup, termasuk menambah dan mempertinggi penghasilan, penyediaan lapangan kerja yang memadai, pendidikan yang lebih baik dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan manusiawi, semuanya itu bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi semata-mata, tetapi juga untuk mengangkat kesadaran akan harga diri, baik individual maupun nasional
3.      memeperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individual dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap-sikap  budak ketergantungan, tidak hanya dalam hubungan dengan orang lain dan negara-negara lain, tetapi dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan manusia.
Dari bentuk sasaran kebijakan pemerintah yang merupakan gambaran aspirasi masyarakat dalam pembangunan, ketiga sasaran diatas masih diluar jangkauan kebijakan pemerintah, dimana masyarakat sebagai obyek pembangunan dimana kesenjangan dengan daerah-daerah maju dengan daerah tertinggal  sebagai salah satu indikatornya. Dan pada kenyataannya kesenjangan semakin meluas dipelosok negara kita ini. Melihat fenomena seperti ini peluang-peluang yang dapat memperluas kesenjangan dengan tuntutan memperoleh pelayanan dari pemerintah dan swasta dalam hal pelayanan-peleyanan yang berasas pemerataan, berkeadilan serta pelayanan yang  memberi kesempatan bagi masyarkat untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Melihat kenyataan pada daerah-daerah tertinggal yang lebih khusus pada daerah perbatasan yang rentang dengan permasalahan kewilayaan batas negara dan kesenjangan sosial dari negara tetangga yang dapat menimbulkan disintegrasi, ini dapat diperparah lagi dengan perkembangan penduduk dari tahun ketahun semakin meningkat dan kompleksitas yang dihadapi semakin meningkat pula, oleh karena itu perlu adanya kebijakan-kebijakan yang dapat memberikan solusi dalam menjawab pemasalahan-permasalahan daerah yang masih tertinggal khususnya di daerah perbatasan.  
Seperti halnya di wilayah perbatasan di Provinsi Kalimantan Timur yang meliputi Kabupaten Nunukan, Malinau dan Kutai Barat, berbatasan langsung dengan Negara Bagian Malaysia Timur (Serawak dan Sabah). Jumlah seluruh  Kecamatan dari  ketiga Kabupaten tersebut adalah sebanyak 37 Kecamatan, tetapi hanya 11 Kecamatan yang berbatasan langsung dengan negeri sabah dan serawak yaitu ; Kecamatan Long Apari dan Long Pahangai di Kabupaten Kutai Barat, Kayan Hulu, Kayan Hilir dan Pujungan di Kabupaten Malinau serta Krayan, Krayan Selatan, Lumbis, Sebuku, Nunukan dan Sebatik di Kabupaten Nunukan. Wilayah perbatasan tersebut  merupakan perbatasan daratan kecuali di Kecamatan Nunukan yang mempunyai perbatasan laut dengan Kota Tawau di Negeri Sabah. Luas wilayah perbatasan Kalimantan Timur keseluruhan yang meliputi 11 Kecamatan tersebut adalah  57.731,64 Km2 dengan rincian luas wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan sebesar 12.128 Km2, Kabupaten Kutai Barat 8.911,1 Km2  dan Kabupaten Malinau 36.692,54 Km2.
Tujuan Pembangunan Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur adalah memacu pertumbuhan sosial ekonomi di kawasan perbatasan yang selama ini masih tertinggal dibandingkan kawasan pantai, sehingga dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengurangi disparitas pembangunan dan disintegrasi bangsa sehingga mampu menunjang sistem pertahanan dan keamanan negara di kawasan tersebut.
Kecamatan Sebatik Barat dan  Sebatik Timur dengan luas wilayah mencapai 246,61 km2, merupakan Kecamatan dengan luas terkecil di Kabupaten Nunukan dengan kepadatan penduduk mencapai 119,23 jiwa/km2. Terletak di Pulau Sebatik, Pulau Sebatik membagi dua wilayah pulaunya dengan Sabah-Malaysia di sebelah utara, dengan Laut Sulawesi di sebelah selatan, di sebelah barat dengan Kecamatan  Nunukan, di sebelah timur dengan Laut Sulawesi.
Ditinjau dari pembangunan, Pulau sebatik masih terkendala dari segi perencanaan untuk membangun pulau sebatik pada umumnya, hal ini dikarenakan pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan perencanaan secara bertahap, imbas ini berdampak pula pada desa-desa di pulau tersebut salah satu desa yang mendapat imbasnya yaitu Desa sungai nyamuk, ini diakibatkan kebijakan pemerintah yang kurang dilaksanakan secara konsekuen serta aspirasi masyarakat belum terealisasi sepenuhnya dalam bentuk kebijakan pemerintah Kabupaten Nunukan untuk lebih mengembangkan wilayah perbatasan.
Dari segi perdagangan masyarakat lebih cenderung ke Negara tetangga untuk melakukan transaksi perdagangan unutk memenuhi kebutuhan sehari-hari (pokok) dan kebutuhan lainnya (skunder), walaupun di daerah tersebut terdapat pasar, toko-toko, dan penjual akan tetapi persoaln harga memasksa masyarakat untuk lebih cenderung ke Negara tetangga, begitu juga untuk menjual hasil bumi dari daerah mereka, mereka menjualnya ke Negara tetangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar